Namun, ia hanya mampu mengagumi Fatimah dalam diam sebab menyadari bahwa ia hanyalah seorang pemuda miskin yang tak mempunyai apa-apa.
Betapa hancur dan kecewa perasaannya ketika mendengar lamaran datang secara beruntun menghampiri Fatimah oleh dua orang yang tinggi kedudukannya, Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar bin Khatab.
Mendengar Fatimah menolak lamaran itu, hati Ali sedikit tenang.
Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah berdoa dan memasrahkan segalanya pada Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.
Rindu dan gelisah yang terus berkecamuk dalam dada Ali, akhirnya membuat ia memberanikan diri untuk menghadap Nabi. Nabi menanyakan alasan Ali datang menemuinya. Setelah Ali mengutarakan maksudnya, Nabi menanyakan mahar apa yang sanggup Ali beri. Ali berterus terang bahwa ia tak memiliki apa-apa.
“Mana tameng Huthamiyah milikmu?” Tanya Nabi.
“Ada di tempatku.”
“Berikan kepadanya!”
Rasa syukur tak henti-hentinya diucapkan oleh Ali setelah Nabi menerima lamarannya.
Pernikahan antara Ali dan Fatimah berlangsung penuh hikmah. Sesaat setelahnya, Fatimah mengatakan bahwa ia pernah mencintai seorang pemuda sebelum menikahinya.
Mendengar itu, perasaan Ali menjadi gelisah. Kalimat itu membuatnya terjatuh dalam kesedihan.
Seorang pemuda yang mampu membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang, seorang pemuda sederhana, tetapi mulia dan istimewa di hadapan Allah, Rasul-Nya serta seluruh umat muslim.
Kesedihan itu tiba-tiba berubah ketika Fatimah mengungkapkan kebenarannya. Ia mengatakan bahwa pemuda itu kini berada di hadapannya, Ali Bin Abi Thalib.
Betapa bahagianya Ali mendengar itu.
Oh, kawan. Betapa cinta dalam diam adalah ujian rindu paling agung. Ia senantiasa menyediakan ruang kegelisahan bagi siap pun yang berani menjaga diri sebelum halal.
Percayalah, selama terus menerus memperbaiki diri dan hanya bergantung pada Sang Pemilik hati, orang yang tepat akan datang satu hari nanti.
Terima kasih telah berkunjung, Silahkan Sobat tinggalkan komentar dengan kata-kata yang Baik, Bijak dan Sopan.